Lelah yang TAK BERUJUNG

Diposting 3 tahun yang lalu

Kamis, 4 Oktober 2020

Hari itu, untuk pertama kalinya dia menjalankan tugas sebagai petugas pengambilan swab bagi pasien terduga COVID-19.

Ia menceritakan, saat melakukan pengambilan swab tersebut, dirinya belum mendapat pelatihan khusus. Pengalaman melakukan swab hanya didapat ketika mengikuti pelatihan yang dilakukan Labkesda, itu pun sebatas teori dengan penjelasan dari penanganan kasus flu burung yang terjadi beberapa tahun lalu.

“Swab waktu itu masih swab yang orofaring (melalui saluran mulut) saja, belum yang nasofaring (melalui saluran hidung). APD juga masih belum pakai masker N95, masih pakai masker bedah biasa yang di-double dengan masker bedah yang terdapat plastik mika di maskernya untuk melindungi bagian mata. Jadi, belum pakai faceshield yang ada topinya,” kata dr. Baskoro.

Saat itu, lanjut dr. Baskoro, swab nasofaring belum banyak beredar sehingga pengambilan sampel swab nasofaring dilakukan dengan menggunakan swab orofaring. Tantangannya pun cukup berat, karena dengan diameter swab yang cukup besar petugas berusaha tetap memasukkannya ke rongga hidung sampai ke nasofaring.

“Walaupun sedikit tidak nyaman bagi pasien, tetapi kami berhasil tidak membuat luka/perdarahan pada hidung pasien,” sebut dr. Baskoro.

Pada awal menerima pasien COVID-19, mereka hanya dibekali APD ala kadarnya. Alhasil petugas terpaksa menggunakan jas hujan sebagai salah satu upaya melindungi diri dari kemungkinan terkena droplet saat men-swab pasien.

“Walaupun panas dan basah kuyup setelah berjam-jam melakukan swab, dan suka diketawain oleh petugaspetugas rumah sakit lain, tapi kami merasa itu lebih aman dibandingkan gaun bedah disposable, karena masih banyak bagian badan yang tidak tercover,” kenang dr. Baskoro.

Dadakan

dr. Baskoro menambahkan, ketika belum mendapat bantuan faceshield, seorang rekan sejawatnya berkreasi membuat faceshield “dadakan” menggunakan plastik klip ukuran besar dan dilubangi bagian atas dan belakang. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi wajah dari paparan droplet atau aerosol ketika harus mengambil sampel swab.

“Ada sekitar 2 mingguan atau lebih (APD tidak standar) sampai hazmat datang, masker N95 yang banyak itu baru dua minggu kemudian,” sebut dr. Baskoro.

Selain kelengkapan APD yang belum tersedia, di awal menangani COVID-19 juga belum tersedia Viral Transport Media (VTM), suatu media yang diperlukan untuk menjaga virus tetap hidup setelah sampel swab diambil, agar nantinya dapat dilakukan pemeriksaan PCR.

Ketika mengirimkan sampel pertama kali, kisah dr. Baskoro, VTM yang dipakai merupakan hasil buatan rekan sejawatnya.

Kala itu, seorang teman sejawatnya merasa harus mulai menyiapkan VTM karena wabah COVID-19 sudah menyebar dari Wuhan ke Asia Tenggara. Akhirnya dibuatlah VTM sendiri, karena di rumah sakit tempat temannya bekerja ada fasilitas laboratorium khusus infeksi yang dapat juga digunakan untuk running PCR. Saat itu, dr. Baskoro memutuskan membeli 10 VTM dari kantong pribadi untuk persedian di rumah sakitnya, dan belum terpikirkan akan digunakan sehingga disimpan saja di kulkas rumah sakit.

“Hingga pada suatu saat ada pasien terduga COVID. Sudah mulai ketemu pasien COVID di Indonesia, kita melakukan swab menggunakan VTM apa adanya yang dibikin oleh rekan sejawat tadi, belum ada VTM komersil yang dijual secara bebas oleh lembaga penyedia,” paparnya.

Hingga akhir Agustus, mereka total telah mengambil sampel swab sebanyak 3.304 sampel. Sementara itu, untuk pemeriksaan antibodi, atau yang dikenal dengan rapid test, hingga 4.467 pemeriksaan.

Menurut dr. Baskoro, jumlah PCR yang positif lebih sedikit dari pada yang negatif. Begitu juga untuk yang reaktif antibodi lebih sedikit dari pada yang non-reaktif. Di sisi lain dr. Baskoro mengakui, pekerjaan yang sudah hampir 6 bulan dilakukannya untuk mengambil sampel COVID-19 cukup menguras tenaga dan membuat jenuh.

“Jujur saja untuk mengatasi kejenuhan, saya masih mencari cara untuk diri pribadi dan tim saya di laboratorium. Karena jenuhnya bukan sekedar jenuh, karena cemas juga suatu saat akan ketularan, mungkin membawa virus ini ke keluarga. Sampai saat ini masih dalam tahap exhausted, mereka yang benar-benar capek dan bosan dengan pandemi yang tidak berakhir ini,” ungkap dr. Baskoro.

Ia mengatakan, sampai saat ini masih mencari cara bagaimana mengurangi kejenuhan. Selama ini, salah satu cara yang dilakukannya baik dengan tim di laboratorium, mendengarkan keluh kesah sesama petugas, bahkan jika ada rekan yang marah dengan lapang hati diterimanya.

“Saya kasih penjelasan bahwa pada saat memilih jalan menjadi petugas medis, ya inilah risiko yang harus dijalani, risiko yang harus ditempuh. Jika saat ini menyesal menjadi petugas medis, ya sudah bukan waktunya lagi karena sudah harus menjalani konsekuensinya,” tuturnya.

Ditambahkannya, untuk melakukan pengambilan swab, karena sudah terbiasa maka dapat dilakukan dengan cepat, tidak sampai satu menit. Namun, yang berat bagi petugas adalah saat harus berpindahpindah ruangan dan juga melepas dan menggunakan APD kembali.

Di tengah lelah yang belum berakhir, kesedihan dr. Baskoro bertambah ketika melihat masyarakat masih banyak yang tidak pakai masker, kumpu-kumpul, merokok bareng, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Inginnya masyarakat sadar bahwa kita yang di rumah sakit sudah berusaha untuk menjalani risiko tertular ini, tetapi kalau mereka tidak ada kesadaran untuk mencegah penularan ini sepertinya sampai kapan rumah sakit ini kuat menampung?” ujarnya.

Meski demikian, harapan untuk masyarakat tersadarkan tidak pernah pupus dari diri dr. Baskoro.

“Mudah-mudahan warga masyarakat yang ada, baik di Jakarta maupun di Indonesia sampai ke pelosok Indonesia, sadar bahwa ‘ayo sama-sama kita putus mata rantai penularan COVID ini’,” pungkasnya.

sumber